KELUARGA TELADAN

Oleh: Imam Nur Suharno*
KAUM Muslimin merayakan Hari Raya Idul Adha atau dikenal juga dengan Idul Kurban. Ibadah kurban ini erat kaitannya dengan perjalanan keluarga Nabi Ibrahim AS. Keluarga yang menjadi salah satu profil keluarga ideal yang dikisahkan dalam Alquran.

Tidak sedikit pelajaran (ibrah) yang dapat diambil dari kisah perjalanan keluarga Nabi Ibrahim AS yang sarat dengan nilai-nilai kebaikan sehingga dapat dijadikan sebagai bekal dalam upaya memperkokoh ketahanan keluarga. Sebab, kuat dan lemahnya sebuah keluarga akan turut mempengaruhi keadaan sebuah bangsa.   

Suami Teladan

Nabi Ibrahim AS merupakan kepala keluarga. Ia membina keluarga sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Sebagai suami, ia berlaku adil kepada kedua istrinya. Kedua istrinya, Sarah dan Hajar taat kepadanya. Ketaatan istri ini tidak terlepas dari ketaatan suami kepada-Nya.

BACA JUGA:Pilkada Memujudkan Kesejahteraan Masyarakat Kota Cirebon

Hal ini mengajarkan kepada kaum laki-laki (suami), jika ingin ditaati oleh istri, suami harus menjaga ketaatan kepada-Nya, bertanggung jawab, berkepribadian mulia, cinta keluarga, dan berperilaku sesuai tuntunan agama.

Sulit rasanya jika menginginkan istri taat dan salehah, sementara suami berakhlak tidak terpuji. Sia-sia suami menginginkan istrinya berubah ke arah yang lebih baik, sementara suami tidak mau merubah kebiasaan buruknya.

Sebagai ayah, Nabi Ibrahim AS tampil sebagai pendidik yang penuh kasih sayang, demokratis dan menjadi teladan. Simak dialog Nabi Ibrahim AS sebagai ayah ketika menjalankan perintah Allah untuk menyembelih putranya.

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu.” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (Q.S. Ash-Shaffat [37]: 102).

BACA JUGA:Ruang Rawat Inap Kosong

Dalam dialog, terlihat Nabi Ibrahim sangat menyayangi anaknya dan bersifat demokratis. Sifat kasih sayang ini tergambar dari pilihan kata yang digunakan dalam memanggil anak. Ya bunayya (wahai anakku). Penggunaan kata “ya bunayya” merupakan panggilan kasih sayang. Lalu, Ibrahim meminta pendapat kepada sang anak ketika diperintah untuk menyembelihnya.

Tampak jiwa demokratis, Nabi Ibrahim AS sebelumnya telah menanamkan nilai-nilai pendidikan kepada Ismail. Hal itu tidak terlepas dari doa, usaha, dan keteladanan yang dilakukan oleh Nabi Ibarahim AS.

Alquran mengabadikan doa Nabi Ibrahim, Rabbi habli minashshalihin (wahai Tuhanku, anugerahkan kepadaku anak yang salih) (Q.S. Ash-Shaffat [37]: 100). Hal ini mengajarkan kepada para suami agar selalu berdoa untuk memperoleh anak yang saleh. Anak merupakan amanah, dan anak bisa menjadi fitnah (Q.S. Al-Anfal [8]: 28).

Berdoa dan berlindung kepada-Nya agar diberi kekuatan dan kemampuan mendidik anak, sehingga anak tidak menjadi fitnah. Doa yang disertai usaha. Usaha bisa berupa upaya yang ditempuh Nabi Ibrahim dalam memilih jodoh. Meskipun Hajar berkulit hitam, berstatus budak, tetapi imannya teguh, akhlak mulia, taat beragama, dan patuh kepada suami.

BACA JUGA:Sebagian Besar Sawah Sakit, Yuningsih Dorong Petani Gunakan Pupuk Organik

Alquran menegaskan, seorang budak yang beriman jauh lebih berharga dari pada seorang musyrik meskipun menarik hati (Q.S. Al-Baqarah [2]: 221).

Tag
Share