Integrasi Tahapan Psikososial Erik Erikson Dalam Dunia Pendidikan
Indah Rahmania-istimewa-radar majalengka
MELIHAT betapa lajunya perkembangan ilmu dan teknologi pada saat ini, maka pemahaman tentang perkembangan manusia pun menjadi kunci penting dalam berbagai bidang seperti pendidikan bahkan psikoterapi. Dalam dunia psikologi pendidikan, Erik Erikson menjadi tokoh yang sangat terkenal dan dianggap sebagai salah satu pionir karena karyanya dalam membahas tentang perkembangan manusia.
Erik Erikson adalah seorang psikolog dan psikoanalisis yang menggali lebih dalam teori Sigmund Freud dan mengembangkannya menjadi lebih luas mengenai pertumbuhan manusia sepanjang hayat. Dengan teori delapan tahap perkembangan psikososialnya, Erikson mengajukan pandangan bahwa setiap individu akan melewati serangkaian krisis selama hidup yang masing-masing tahapannya menawarkan kesempatan untuk bertumbuh dalam menghadapi rintangan psikologis yang akan membentuk kepribadian dan perilaku mereka.
Perjalanan dimulai dari tahap menghadapi kepercayaan atau ketidakpercayaan di tahun awal kehidupan, hingga kemudian harus mampu mengatasi tantangan integritas atau keputusasaan di usia senja, maka tahapan-tahapan inilah yang akan dilalui hingga membentuk bagaimana kita sebagai individu yang akan berinteraksi dengan dunia.
Dalam masyarakat yang semakin kompleks pada saat ini dimana identitas diri dan hubungan sosial mengalami evolusi yang sangat cepat, insight Erikson ini dirasa masih sangat penting sehingga teori yang dikemukakan terasa sangat relevan dan dapat menginspirasi pendekatan baru dalam pendidikan dan psikologi modern, sehingga dapat dijadikan sebagai alat untuk membantu individu di setiap tahap kehidupan mereka dalam menghadapi tantangan psikososial.
BACA JUGA:PKS Lirik Nasdem dan Demokrat
Manusia terlahir ke dunia untuk selalu belajar bahkan hingga ajal menjemput, maka disitulah butuh peranan penting adanya pendidikan. Lalu apa saja tahapan teori psikososial Erik Erikson dan bagaimana imbasnya dalam dunia pendidikan?
Tahap pertama adalah saat berusia 0 hingga 12 bulan, disebut Erikson dengan tahapan percaya vs tidak percaya, dan kita menyebutnya fase Bayi. Pada masa ini sangat besar pengaruh peran orangtua dan juga orang sekitar yang ikut mengasuh (seperti baby sitter, nenek, dll), agar bayi belajar mempercayai dunia di sekitarnya melalui interaksi yang konsisten dan penuh kasih sayang. Tidak lupa pula hadirnya layanan penitipan anak atau program pendidikan dini pada masa ini harus dipilih dengan teliti agar mendapatkan yang berkualitas sehingga membantu bayi membangun rasa aman dan kenyamanan pada dirinya sendiri.
Tahap kedua adalah saat berusia 1 – 3 tahun, disebut Erikson dengan tahapan otonomi vs malu dan ragu, dan kita menyebutnya fase Batita. Pada masa ini batita akan belajar untuk mulai mandiri dengan melakukan tugas tugas sederhana, seperti toilet training, makan, dll. Orangtua, pengasuh, bahkan guru hendaknya mendukung proses eksplorasi pada tahap ini agar tercipta rasa percaya diri dan perasaan mampu.
Tahap ketiga adalah saat berusia 3-6 tahun, disebut Erikson dengan tahapan inisiatif vs rasa bersalah, dan kita menyebutnya fase Anak-anak. Pada masa ini seorang anak akan memasuki usia prasekolah, mereka akan belajar sambil bermain dan juga mulai mengenal bagaimana cara berinteraksi, Anak akan mulai melatih fokusnya untuk melakukan sesuatu berdasarkan pemikiran sendiri. Disinilah peran orangtua dan guru seharusnya memberikan kesempatan dan tidak banyak melarang saat anak mengeksplorasi kemampuannya.
BACA JUGA:BPK Apresiasi Kinerja Bupati Terkait PSU dari Pengembang
Tahap keempat adalah saat berusia 6-12 tahun, disebut Erikson dengan tahapan industri vs inferioritas. Pada masa ini anak akan mengenyam pendidikan di sekolah dasar, dimana selain belajar berinteraksi sosial, anak juga akan diasah keterampilan baik secara akademis maupun non akademis, Jiwa kompetensi anak akan muncul dan akan mulai membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain. Ini adalah fase penting untuk mendampingi anak agar tidak muncul rasa rendah diri (inferior) dan bangkit untuk terus mengasah kemampuannya.
Tahap kelima adalah saat berusia 12-18 tahun, disebut Erikson dengan tahapan identitas vs kebingungan peran, dan kita menyebutnya fase Remaja. Tahap ini adalah belajar di sekolah menengah yang rentan dengan pergolakan dan gejolak dimana seorang remaja akan berproses mencari jati diri, sehingga dengan bimbingan dan pengawasan yang baik dari orangtua dan guru tidak akan menimbulkan krisis identitas seorang remaja ini di kemudian hari.
Kegiatan ekstrakurikuler dan bimbingan karir, serta program mentoring dan bimbingan konseling sangat dibutuhkan untuk memahami minat dan bakat dalam merancang masa depan mereka.
Tahap keenam adalah saat berusia 18-30 tahun, disebut Erikson dengan tahapan keintiman vs isolasi, dan kita menyebutnya dengan fase Dewasa. Perguruan tinggi dan pendidikan lanjut seringkali menjadi tempat dimana seseorang membentuk hubungan yang erat dan intim dengan orang lain selain keluarga. Apabila gagal pada tahap ini maka menurut Erikson akan memicu rasa terisolasi dan depresi.
BACA JUGA:Terbaik di Jabar dan Ranking 4 Nasional
Tahap ketujuh adalah saat berusia 30-64 tahun, disebut Erikson dengan tahapan generativitas vs stagnasi. Usia paruh baya ini akan terlibat dalam pendidikan lanjutan atau pelatihan mengembangkan keterampilan yang memberikan kontribusi kepada masyarakat. Banyak orang dewasa lanjut pada tahap ini berperan sebagai mentor atau pengajar yang memberikan pengetahuan dan pengalaman mereka pada generasi yang lebih muda.
Tahap kedelapan adalah saat berusia 65 tahun ke atas, disebut Erikson dengan tahapan integritas vs keputusasaan, dan kita menyebutnya dengan fase Lansia. Seseorang dalam tahap ini akan mulai merenung untuk merefleksikan kehidupan yang sudah dijalani. Jika merasa puas, maka akan menghadapi masa tua dan kematian dengan perasaan lega dan bangga. Namun jika tidak, maka akan merasa gagal dan menimbulkan rasa penyesalan serta berputus asa.
Dari penjelasan tersebut maka terlihat bahwa menghubungkan teori perkembangan psikososial Erik Erikson dengan dunia pendidikan sangat membantu menciptakan lingkungan belajar yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan seseorang di setiap tahap kehidupannya. Dengan adanya tulisan ini diharapkan orangtua, pengasuh, guru dan pendidik dapat menggunakan pemahaman teori Erikson untuk mendukung pertumbuhan dan kesejahteraan psikologis seseorang dalam mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi pada saat ini. (*/adv)
BACA JUGA:Dukung Rekomendasi dari BPK
*Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia