MAKI Gugat KPK karena Lambat Tahan Eks Wamenkum HAM

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK (4/12/2203). -ist-radar cirebon

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) kembali menggugat praperadilan KPK di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Gugatan itu terkait tak kunjung ditahannya eks Wamenkum HAM Edward Omar Sharif Hiariej meski telah ditetapkan tersangka.

Dalam gugatan yang didaftarkan Selasa (23/1) itu, MAKI menginginkan KPK berlaku adil. ”Dengan segera melakukan penahanan terhadap Eddy,” ucap koordinator MAKI Boyamin Saiman kemarin.

Ada beberapa pertimbangan terkait desakan itu. Di antaranya, kerangka kasus itu sendiri. KPK telah menahan pengusaha tambang Helmut Hermawan yang jadi penyuap Eddy. Namun, Eddy sebagai penerima duit belum ditahan.

Padahal, berdasar Pasal 5, 6, 11, dan 12 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, untuk kasus suap, ancaman hukuman penjara bagi pejabat penerima lebih tinggi daripada pemberi suap.

BACA JUGA:KPU Kuningan Resmi Melantik Puluhan Ribu Anggota KPPS

”Bahkan bisa maksimal 20 tahun, sedangkan pemberi suap maksimal 5 tahun,” katanya. Artinya, dilihat dari sisi ancaman hukuman, semestinya titik berat pada pejabat penerima suap. Jika pemberi ditahan, penerima semestinya juga ditanan.

Kini, Eddy berupaya lolos dari jerat tersangka lewat gugatan praperadilan. Namun, KPK tetap bisa melakukan penahanan. ”Apalagi, gugatan yang diajukan Eddy Hiariej belum diputus oleh PN Jakarta Selatan,” paparnya.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pada 9 November 2023 menyebut Eddy sudah ditetapkan sebagai tersangka. Eddy, lewat dua orang kepercayaannya, Yosi dan Yogi, diduga menerima suap dan gratifikasi dari Helmut Hermawan. Total yang diterima mencapai Rp 8 miliar. ”Ya itu kan kebutuhan dalam proses penyidikan, nanti penyidik yang akan menentukan,” terang Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri kemarin. 

Sementara itu, Presiden Joko Widodo resmi memberhentikan Firli Bahuri dari jabatan ketua dan pimpinan KPK. Namun, masih muncul persoalan apakah Firli diberhentikan dengan hormat atau justru pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). MAKI akhirnya siap mengajukan gugatan bila Firli tidak di-PTDH.

BACA JUGA:Diprotes, Rencana Stadion Utama Bima untuk Kampanye

Keputusan presiden soal pemberhentian Firli itu bernomor 129/P tahun 2023 ditandatangani pada 28 Desember. Koordinator Stafsus Presiden Ari Dwipayana menyatakan, sesuai dengan keppres tersebut, pemberhentian Firli dari ketua dan anggota KPK berlaku sejak tanggal ditetapkan. ’’Ada tiga pertimbangan pemberhentian tersebut,’’ jelasnya.

Tiga pertimbangan tersebut adalah surat pengunduran diri dari Firli, surat keputusan Dewas KPK, dan berdasar Pasal 32 UU 39/2002 tentang KPK yang beberapa kali telah diubah. ’’Pemberhentian pimpinan KPK harus ditetapkan melalui keppres,’’ paparnya.

Namun, Ari tidak menjelaskan pemberhentian terhadap Firli itu dilakukan dengan PTDH atau tidak. Padahal, Dewas KPK memutuskan Firli melakukan pelanggaran berat dan diberi sanksi terberat berupa rekomendasi pengunduran diri.

Koordinator MAKI Boyamin Saiman menegaskan, pihaknya akan meminta duplikasi keppres tentang pemberhentian Firli Bahuri tersebut. Tujuannya, memastikan Firli diberhentikan dengan PTDH atau malah dengan hormat. ’’Ini masalah karena tidak jelas,’’ ujarnya. (elo/c18/ttg)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan