Konsisten Melestarikan Batik Peranakan
--
INDRAWATI atau Gouw Yang Giok (80) telah lama berkecimpung dalam bidang budaya. Melalui guratan-guratan batik yang ia hasilkan, menyemai identitas Cirebon sebagai daerah dengan pengaruh akulturasi dari berbagai kebudayaan.
Ya, sejak puluhan tahun silam, wanita yang akrab disapa Ibu Giok itu telah melestarikan batik peranakan, yang merupakan hasil kombinasi motif batik lokal dengan motif khas mitologi Tionghoa.
Seperti burung Phoenix, Shio, Api, Naga dan tumbuhan khas Tiongkok. Menurut Ibu Giok, awal mula kisah batik peranakan sendiri dimulai dari Trusmi. Sebuah daerah di Kabupaten Cirebon yang hingga saat ini masih eksis sebagai sentra produksi batik.
Di Trusmi, buyut laki-laki Ibu Giok datang dari Tiongkok. Kemudian bertemu dan menikahi seorang perempuan yang merupakan selir dari Keraton Kanoman. “Selirnya (Keraton Kanoman, red) banyak. Jadi kalau ada satu yang lari juga nggak ketahuan,” kata Ibu Giok saat berbincang dengan Radar Cirebon, Desember 2023.
Mereka berdua akhirnya menikah dan memilih tinggal di Trusmi. Sampai akhirnya buyut perempuan Ibu Giok mengembangkan dan memproduksi batik. Singkat cerita, batik kemudian diturunkan ke anaknya atau kakek dari Ibu Giok. Selama bertahun-tahun, batik tulis menjadi keseharian yang tidak terlepas dari kehidupan keluarga mereka.
Batik ini di ajarkan kepada anak dan cucu secara turun temurun. Seolah tidak ingin, seni dan kerajinan membatik punah begitu saja. Dari sang kakek diteruskan oleh orang tua Ibu Giok. Mereka adalah Gouw Tjin Lian dan Thio Lien Nio. Hingga generasi ke-3 atau ayah mereka, batik masih digeluti di wilayah Trusmi. Trusmi menjadi lokasi sejarah yang tidak terpisahkan.
Ibu Giok sendiri merupakan generasi keempat dari usaha batik peranakan yang ditekuni keluarganya turun-temurun. Dan, usaha batik peranakan itu terus ia lestarikan hingga saat ini.
Ia menilai bahwa batik peranakan telah menjadi identitas bagaimana budaya lokal bisa bercampur dengan budaya Tionghoa. Maka dalam batik peranakan, bukan sesuatu yang aneh jika motif Mega Mendung dipadukan dengan karakter hewan dalam shio atau motif batu karang berpadu dengan cerita pelayaran Laksamana Cheng Ho.
“Cirebon ini kan sejak dulu menjadi tempat bertemunya orang dari bangsa-bangsa. Ada dari Tiongkok, Arab, India, Belanda dan sebagainya. Makanya budaya kita itu budaya campuran, perpaduan dari bermacam-macam budaya, tetapi kita tetap harmonis," ucapnya.
Giok mengingatkan, bahwa batik merupakan produk budaya nasional, termasuk batik peranakan sebagai hasil akulturasi budaya yang ada di Indonesia. Maka dari itu, ia selalu mengajak masyarakat untuk mencintai dan bangga dengan kebudayaan yang menjadi identitas masyarakat Cirebon.
“Terkadang saya merasa sedih dan prihatin dengan anak muda sekarang yang tidak mau mengenal budaya kita sendiri. Lebih tertarik dengan budaya luar yang belum tentu cocok dan sesuai dengan kepribadian kita," pungkasnya. (awr)