Narasi Perkawinan Anak
BACA JUGA:Kawal Lumbung Padi Nasional
Dimana salah satu tujuan SDGs poin ke-5 adalah menghapus setiap praktik berbahaya seperti perkawinan anak dan perkawinan paksa.
Anak adalah tonggak peradaban sebuah negara. Terlebih lagi bagi orang tua, mereka tentunya mengharapkan kebaikan untuk masa depan anak-anaknya.
Mereka menikahkan anaknya yang masih di bawah umur, sebagian besar dihadapkan pada kondisi ekonomi yang tidak memadai, dan sebagian lagi dihadapkan pada pilihan antara dua kondisi yaitu tidak menikahkan atau melepaskan anak dalam jeratan pergaulan bebas.
Dari data yang ada, lebih dari 80 persen perkawinan anak justru terjadi karena dipicu oleh dampak negatif dari pergaulan bebas.
Hamil duluan atau ketakutan orang tua atas pergaulan anaknya yang mendorong untuk meminta dispensasi agar anaknya bisa menikah.
Ketimbang memikirkan bagaimana mengutak-atik batas usia pernikahan dan membatasi dispensasi perkawinan, akan lebih efektif jika pemerintah dan semua elemen terkait fokus kepada pemicu maraknya pernikahan anak.
Pemicu yang paling dekat di sekitar kita adalah batasan pergaulan yang semakin bebas.
Masifnya tayangan-tayangan yang bisa mendorong naluri seksual berada dalam genggaman remaja tanpa adanya filter dari pemerintah terkait.
BACA JUGA:Peringati Hari Kesehatan Mental, Prilly Latuconsina Rilis Film 'Bolehkah Sekali Saja Kumenangis'
Para remaja harus menghadapiderasnya arus pornografi. Belum lagi kebijakan-kebijakan yang pro pergaulan bebas semakin mendesak mereka untuk bersentuhan dengan hal-hal yang belum perlu untuk mereka lakoni.
Semoga tidak ada yang bernarasi bahwa pernikahan dini yang halal dihalangi, pergaulan bebas yang haram difasilitasi.
Sistem pendidikan juga punya andil besar dalam problematika ini. Sistem pendidikan kita seharusnya mampu melahirkan generasi yang cerdas, melek teknologi, dan beriman.
Generasi Z hari ini harus dibekali ketiga hal ini untuk menghadapi arus negatif liberalisme yaitu paham pergaulan bebas yang memisahkan agama dari kehidupan.