Dalam kaitan ini, norma Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 justru memberikan ketentuan tambahan yaitu, akumulasi perolehan suara sah itu “hanya berlaku untuk partai politik yang memperoleh kursi di DPRD” sebagaimana dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh para Pemohon karena tidak sejalan dengan maksud kepala daerah dipilih secara demokratis sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
“Artinya, baik menggunakan alternatif pertama atau kedua dipersyaratkan oleh Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) UU 10/2016 harus sama-sama mempunyai kursi di DPRD. Ketentuan ini merugikan hak partai politik yang telah ditetapkan secara resmi sebagai peserta pemilu serentak nasional 2024 yang telah memiliki suara sah, namun tidak memiliki kursi di DPRD, karena tidak dapat mengusulkan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah,” jelas Enny, dikutip langsung dari laman resmi MK.
JAMIN HAK KONSTITUSIONAL PARPOL
Dikatakan Enny, bertolak pada pertimbangan hukum di atas apabila dikaitkan dengan permohonan pengujian Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada, menurut Mahkamah kata “atau” dalam Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada pada prinsipnya membuka peluang bagi calon dari partai yang tidak memiliki kursi di DPRD tetapi memiliki akumulasi suara sah, in casu suara 25%.
Namun, karena berlakunya norma Pasal 43 ayat (3) UU Pilkada, maka peluang bagi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD menjadi hilang atau tertutup. Sebab, lanjut Enny, pasal tersebut telah menegasikan norma yang telah memberikan alternatif, in casu Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016. Batasan 25% sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 adalah akumulasi perolehan suara karena partai politik tetap diakui keabsahannya dan diakui eksistensinya sebagai partai politik menurut Undang-Undang Partai Politik maupun Undang-Undang Pemilu, sampai Pemilu berikutnya sesuai dengan threshold dan persyaratan yang akan ditentukan ke depan oleh pembentuk undang-undang.
BACA JUGA:Parpol Non Parlemen di Kota Cirebon ke Eti-Suhendrik
“Dengan telah dinyatakan Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, oleh karena keberadaan Pasal a quo merupakan tindak lanjut dari Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016, maka terhadap hal demikian Mahkamah harus pula menilai konstitusionalitas yang utuh terhadap norma Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 a quo, sebagai bagian dari norma yang mengatur mengenai pengusulan pasangan calon,” tegas Enny.
Hal ini dilakukan dalam rangka menjamin hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang telah memeroleh suara sah dalam pemilu serta dalam upaya menghormati suara rakyat dalam pemilu.
“Dalam konteks demikian, dengan telah dibukanya peluang bagi perseorangan untuk mencalonkan diri dengan syarat-syarat tertentu, maka pengaturan mengenai ambang batas perolehan suara sah partai politik gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mengusulkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi tidak berdasar dan kehilangan rasionalitas jika syarat pengusulan pasangan calon dimaksud lebih besar daripada pengusulan pasangan calon melalui jalur perseorangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d dan Pasal 41 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d UU 10/2016,” ucapnya.
BACA JUGA:Realisasi Target PBB Mencapai 50 Persen
Oleh karena itu, lanjut Enny, syarat persentase partai politik atau gabungan partai politik perserta pemilu untuk dapat mengusulkan pasangan calon harus pula diselaraskan dengan syarat persentase dukungan calon perseorangan. Sebab, mempertahankan persentase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 sama artinya dengan memberlakukan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi bagi semua partai politik peserta pemilu.
Sementara itu, terhadap putusan Mahkamah a quo, terdapat alasan berbeda dari Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengajukan alasan berbeda (concurring opinion) dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion).
“Yang pada pokoknya yang concurring berpendapat bahwa seharusnya Mahkamah memutus perkara a quo dengan konstitusional bersyarat sementara yang dissenting terhadap norma yang dilakukan pengujian telah konstitusional dan seharusnya Mahkamah menolak permohonan para Pemohon,” ujar Ketua MK Suhartoyo.
Sebelumnya para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada telah menimbulkan perlakuan yang berbeda terhadap partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD, meskipun sebenarnya parpol- termasuk Para Pemohon- telah mendapatkan perolehan suara sah dalam Pemilu DPRD baik provinsi maupun kabupaten/kota.
BACA JUGA:DAM Raih 3 Piala di KLHN 2024
Terhalangnya hak para Pemohon untuk mengajukan calon kepala daerah/wakil kepala daerah dalam Pemilihan Kepala Daerah bertentangan dengan sistem keadilan Pemilu (electoral justice) yang merupakan instrumen penting untuk menegakkan hukum dan menjamin sepenuhnya penerapan prinsip demokrasi melalui pelaksanaan pemilu yang bebas, adil, dan jujur.
Selain itu, Pemohon mendalilkan terdapat perbedaan antara “perolehan suara sah” dengan “perolehan jumlah kursi” sebagaimana uraian Pasal 40 UU 10/2016 di atas. Ketentuan Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 tersebut mengabaikan perolehan suara dalam pemilihan umum- dalam hal ini DPRD- yang telah mendapatkan legitimasi suara rakyat.