CIREBON- Ritual sumpah pocong yang dilakukan Saka Tatal menuai polemik. Sumpah pocong disebut bukan bagian dari tradisi masyarakat Cirebon. Penegasan itu disampaikan oleh Budayawan Cirebon, Akhbarudin Sucipto.
“Kalau dikatakan bahwa sumpah pocong itu bagian dari kearifan lokal masyarakat Cirebon, itu tidak setuju. Karena yang dikenal di Cirebon itu adalah sumpah Ciledug, bukan sumpah pocong," ungkap Akhbarudin Sucipto kepada Radar Cirebon, Minggu 11 Agustus 2024.
Pria yang akrab disapa Kang Akbar itu mengatakan sumpah pocong lebih erat kaitannya dengan budaya sebagian masyarakat Jawa Timur. Sumpah pocong ini menjadi solusi bagi warga untuk membuktikan tuduhan dari dua belah pihak yang berselisih, daripada harus berakhir dengan fisik.
“Kalau di Cirebon sendiri memang dikenal sumpah Ciledug. Tapi, sumpah Ciledug juga sudah ditinggalkan karena dianggap melenceng dari norma-norma yang berlaku," jelasnya.
BACA JUGA:4 Pemda di Wilayah BPJS Cabang Cirebon Raih UHC Award
Lebih lanjut, ia menyayangkan digelarnya prosesi sumpah pocong. Terlebih masifnya pemberitaan, baik di media massa maupun media sosial. Dikhawatirkan akan semakin menggiring masyarakat pada pola pikir mistis. Selain itu, Kang Akbar juga menyebut bahwa di luar upaya Saka Tatal yang ingin membuktikan bahwa dia tidak seperti yang dituduhkan selama ini, namun sumpah pocong yang dilakukan justru berpotensi merugikan dirinya sendiri.
Pasalnya, jika masyarakat sudah terjebak dalam pola pikir mistis, ini akan menjadi bola liar bagi pengungkapan kasus. Terlebih, kata dia, dalam prosesi sumpah pocong dilakukan tersebut, tidak melibatkan kedua belah pihak.
Artinya, jikapun sumpah pocong itu digelar, harusnya menghadirkan kedua belah pihak yang sedang berkonflik.
“Jika misalnya, nanti terjadi sesuatu pada Saka Tatal, kemungkinan masyarakat akan menjustifikasi bahwa dirinya yang salah. Padahal kan belum tentu karena sumpah pocong yang dilakukannya,” terangnya.
BACA JUGA:Sanggar Seni Cirebon Bakal Tampil di Tiga Negara Eropa
Budayawan Cirebon lainnya, Chaidir Susilaningrat menilai bahwa pelaksanaan sumpah pocong, terutama dalam penanganan kasus hukum seperti kasus kematian Eky dan Vina, sudah tak lagi relevan. Menurutnya, penanganan hukum harus tetap berpedoman pada prosedur yang ada dan bukan berdasarkan sumpah pocong.
“Sedangkan kasus Vina ini pidana murni, jadi tidak bisa kita memakai sumpah pocong misalnya untuk menjadi dasar pertimbangan hukum. Wah (kalau ada) itu tidak sangat relevan," katanya.
Meskipun sumpah pocong dilakukan oleh Saka Tatal, Chaidir menyatakan bahwa hal itu lebih merupakan tindakan individu yang mencari popularitas. Chaidir berharap agar masyarakat tetap cerdas dan fokus pada penanganan hukum yang cermat, tanpa terpengaruh oleh rumor atau tindakan yang tidak relevan seperti sumpah pocong.
Sementara itu, menurut Iwan Zaenul Fuad dalam tulisannya yang berjudul Sumpah Pocong: Upaya Konstruksi Fiqh Kultural Khas Indonesia menjelaskan bahwa tradisi sumpah pocong ini diyakini berasal dan berkembang di tengah masyarakat Jawa, khususnya yang berada di sekitaran daerah Jawa Timur. Tradisi ini diyakini mulai berkembang di pedesaan yang ada di wilayah tersebut.
BACA JUGA:Akreditasi Paripurna, Hadirkan Fasilitas Layanan Rawat Inap