Serapan kuota siswa baru di beberapa SMP Negeri di Kabupaten Cirebon masih banyak yang belum terpenuhi. Total ada 27 SMP Negeri yang serapan kuotanya berada di bawah 95 persen.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon, Ronianto SPd MM mengatakan, dari evaluasi yang dilakukan tersebut akhirnya diputuskan dilakukan perpanjangan waktu penerimaan peserta didik baru (PPDB) bagi sekolah yang jumlah siswanya masih kurang.
“Di tahap pertama PPDB, jumlah serapannya 7078, masih ada sisa dari target 10 ribu lebih ditahap pertama dimana ada kuota 3.500 serapan yang digeser ketahap II,” ungkapnya.
Menurutnya, di tahap kedua dari target serapan sebanyak 14.949 siswa hanya terserap 13.066 siswa saja sehingga sisa kuota kosong sebanyak 1.130 siswa.
“Perpanjangan PPDB hanya bagi sekolah yang serapannya di bawah 95 persen, di luar itu tidak diperbolehkan,” imbuhnya.
Diungkapkan Ronianto, 10 sekolah terendah untuk serapan PPDB diantaranya SMP Satap Karabgsembung yang persentase serapannya baru 20 persen. Lalu, ada SMP Negeri 1 Sedong yang serapannya 24 persen, SMP Negeri 2 Gempol yang serapannya 34 persen, SMP Negeri 2 Babakan serapannya 52 persen, SMP Satap Talun 52 persen, SMP 2 Arjawinangun 52 persen, SMP 3 Plered 53 persen, SMP Negeri Satap Waled 60 persen, SMP Satap Losari 62 persen, dan SMP 2 Ciledug 62 persen.
“Kalau total penerimaan siswa kita masih di bawah target, target kita itu kan awalnya 21.255 siswa dari total lulusan SD sebanyak 33 ribu siswa, saya kira tidak akan ada konflik dengan swasta karena jumlah lulusannya yang tersedia masih sangat banyak,” katanya.
Untuk optimalisasi serapan PPDB khusus untuk sekolah yang serapannya di bawah 95 persen sendiri akan dilakukan sampai dengan 13 Juli 2024.
“Ada beberapa parameter untuk penerimaan optimalisasi serapan kuota PPDB, waktunya sampai 14 Juli 2024, edarannya sudah kita drop ke tiap satuan pendidikan yang kuotanya belum mencapai 95 persen,” paparnya.
Sementara itu, kesibukan terlihat dari sejumlah orang tua yang terlihat bolak balik di toko seragam atau perlengkapan sekolah.
Meskipun masih diperkenankan mengenakan seragam lama atau saat masih SD, para orang tua akhirnya harus membeli seragam secara mandiri meskipun beberapa hari sebelumnya harus membayar uang yang tidak sedikit ke pihak panitia pengadaan pakaian seragam anak sekolah atau PSAS.
“Kemarin sudah bayar, walaupun tidak ada terpaksa pinjam-pinjam untuk bayar ke sekolah, kalau bagi saya tidak murah. Kan, per siswa itu di atas 1 juta rupiah untuk beli seragam dan perlengkapan yang tidak dijual di pasar,” jelas seorang wali murid, yang meminta namanya tidak dikorankan.
Diakuinya, harga yang tertera untuk pembelian PSAS memang di atas harga pasar. Iapun tidak mengerti karena harusnya jika memesan dengan jumlah banyak maka harga yang didapat harusnya jauh lebih murah.
“Harganya kalau kata saya jauh lebih mahal ketimbang harga di pasaran, padahal belinya kan banyak, satu angkatan, harusnya lebih murah,” tukasnya.
Ia mencontohkan hanya untuk harga rompi saja dijual oleh panitia pengadaan PSAS dengan harga Rp150 ribu, lalu kaos atau seragam olahraga seharga Rp200 ribu, dasi siswa sebesar Rp30 ribu, kaos kaki Rp25 ribu.