"Saya pernah tiga bulan tidak istirahat, karena tanggapanya full. Itu tahun 2000-an. Wayang kulit lagi jaya-jayanya lah," tegas ayah dari dalang cilik, Devanata Nararya Prasandha ini ketika bincang dengan Radar Cirebon, Selasa 17 April, kemarin di kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Cirebon.
BACA JUGA:Keselamatan Pengunjung Wisata Jadi Prioritas
Kata dia, panggungan atau order terus mengalami penurunan dan puncaknya saat pandemi tahun 2019 lalu.
Saat ini, para dalang sepi job, hanya satu dua saja yang masih ada panggungan. Jadi, saat ini dalang lebih banyak "nganggur' di rumah.
Mantan ketua Pepadi Kabupaten Cirebon ini menilai, sepi job atau panggungan wayang kulit bukanya sepenuhnya karena tidak ada orang yang "Nanggap"
BACA JUGA:Kemenag Kota Cirebon Berangkatkan Mudik Gratis ke Jakarta
Tatapi, sambung dia lebih pada masyarakat sendiri yang kurang pemahaman atau literasi soal wayang kulit ini.
Maka, tugas dalang, pemerintah dan kita semua bagaimana masyarakat ini bisa memahami dan akhirnya mencintai pertunjukan wayang kulit ini.
"Kalau masyarakat sudah mencintai dengan munculnya hiburan apapun, seperti orang tunggal atau tontonan modern lainnya, keberadaan wayang kulit tidak akan tergeser"
BACA JUGA:Proyek Peningkatan Jalan Sudah Ada yang Berkontrak
"Ada tiga hal yang harus sampaikan kepada masyarakat soal wayang kulit ini. Bagaimana masyarakat ini paham, dan ini tugas kita semua," tutur dalang wayang Pangreksa Budhi ini.
Menurutnya tiga hal itu soal musik atau tetabu, bentuk wayang dan bahasa.
Tiga hal yang ada di pertunjukan wayang tersebut harus benar-benar dipahami dihayati masyarakat. Seperti soal musik atau gamelan wayang kulit, masih banyak masyarakat yang tidak kenal terutama kalangan anak mudia atau generasi milenial.
Bentuk wayang, seperti karakter masing-masing tokoh tidak semua paham dan mengerti, termasuk masalah bahasa yang disampaikan dalang. Akibat keterbatasan itu semua, secara otomatis wayang kulit dijauhi dari masyarakat.