BACA JUGA:Edi Suripno Beri Pemkot Catatan
Indonesia tegak berkat kerja sama berbagai pihak yang tidak saling suka dan setia. Mereka terpaksa bekerja sama seperlunya karena masing-masing terlalu kecil untuk bergerak mandiri. Kerja sama semacam ini sangat cair dan rapuh.
Contoh paling gamblang adalah Presiden Jokowi dan PDI-P. Dengan mandat sebagai RI-1 dua periode, Jokowi tidak mampu menguasai partai yang mengusungnya.
Jangankan merombak negeri sebesar dan sekompleks Indonesia sesuai janji kampanye dulu. Sebaliknya, PDI-P tidak berdaya mengendalikan sepak terjang Jokowi sebagai petugas partai. Tetapi, tanpa Jokowi, ruang gerak PDI-P amat terbatas meski menjadi parpol terbesar.
Di negara lain, pemilu berpeluang memberikan dampak besar karena beberapa faktor. Misalnya negara berada di titik persimpangan kritis karena perpecahan elite, ancaman dari luar atau dalam negeri.
Masyarakatnya terbelah. Kubu yang bersaing dalam pemilu lumayan kuat, mewakili dua atau lebih kiblat politik yang ekstrem bertolak belakang. Kondisi semacam ini hanya terlihat sebagian kecil hadir di Pemilu 1955 di Indonesia.
Dalam politik Indonesia mutakhir, makna kalah/menang/lawan/sekutu tidak pernah stabil. Elite politik sering bertukar kubu dan sikap.
Sebagian pendukung bisa ekstrem fanatik dalam satu pemilu, lalu mendadak berubah sikap di pemilu berikutnya. Tidak ada perbedaan besar di kalangan elite politik. Semua cari aman dan bersikap oportunis sama halnya di era orde baru.
Angan-angan berharap ada kejutan baru, meskipun dianggap buruk namun bisa belajar dari masa Orba tentang komitmen mengatasi narasi Orde Baru tentang PKI dan tuntutan kemerdekaan Papua.
BACA JUGA:Memasuki Masa Tenang, Bawaslu Beri Peringatan
Tetapi di masa ini, struggle dan masalah ke-Indonesiaan, nampaknya diabaikan oleh penguasa bahkan laten oligarki.
Di samping itu, jika memahami visi-misi para capres/legislatif/parpol peserta pemilu 2024 yang berisi janji muluk serba indah, persoalannya apakah visi-misi dan komitmen kepada rakyat wajib dipertanggungjawabkan pembuatnya kelak? Atau sekadar harapan tanpa kewajiban dipertanggungjawabkan?
Terlebih jika menjadi pemenang, apakah anggaran negara akan cukup mendanai pelaksanaan visi-misi itu. Jika tidak, berapa kurangnya? Dari mana dana tambahan akan dicari? Apa risikonya jika dana tambahan dari sumber tertentu dalam negeri atau asing?
Alhasil, kita patut bersyukur Indonesia jauh lebih besar, kaya-nuansa dan nyata ketimbang ritual politik yang penuh panggung sandiwara, bahkan pesta demokrasi tidak sepatutnya turun derajat menjadi ”pesta ular kobra”, penuh kekerasan; racun mematikan untuk menangguk keuntungan kekuasaan.
BACA JUGA:Peletakan Batu Pertama Rumah Quran Rumah Zakat