Oleh: Achmad Salim*
SECARA umum korban pelecehan seksual didominasi oleh kaum perempuan dalam banyak bentuk dan terjadi diberbagai tempat mulai dari tempat umum, tempat kerja, media sosial, sekolah, kampus sampai lembaga keagamaan.
Sexual harassment atau pelecehan seksual merupakan perilaku seksual dalam bentuk verbal, fisik dan visual yang tidak diinginkan serta dilakukan secara eksplisit maupun implisit.
Ironisnya banyak pelaku bukan hanya orang-orang terdidik dan berprofesi terhormat seperti guru, dosen bahkan agamawan namun juga penyandang disabilitas yang selama ini diasumsikan sebagai individu-individu lemah sebagaimana kasus Agus tunadaksa yang melecehkan lebih dari sepuluh perempuan.
BACA JUGA:Female Breadwinner; Sebuah Refleksi Hari Ibu
Tingginya angka pelecehan seksual tidak lepas dari faktor budaya yang masih bersifat diskriminatif dimana perempuan diposisikan sebagai kaum inferior di bawah kontrol superioritas laki-laki.
Budaya ini menghadirkan norma sosial yang permisif terhadap pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan.
Bukan hanya itu seksualisasi media massa, film, iklan, dan video game yang seringkali menggambarkan perempuan sebagai objek seksual mengafirmasi suatu persepsi bahwa mereka tercipta untuk memenuhi hasrat seksual laki-laki yang akhirnya berdampak pada normalisasi pelecehan seksual dalam kehidupan nyata.
Sebenarnya fenomena seperti ini sudah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu bahkan Islam datang di tengah kondisi yang jauh lebih memprihatinkan dimana perempuan diperlakukan secara tidak manusiawi. Mereka dijadikan sebagai pemuas nafsu belaka yang habis manis sepah dibuang.
BACA JUGA:Bangkit lewat IPL 2024
Untuk itu Islam hadir memberikan atensi yang besar terhadap persoalan ini demi mengembalikan martabat dan hakikat penciptaan perempuan yang dimulai dari merubah paradigma dalam memposisikan seorang perempuan.
Dalam Islam perempuan ditempatkan pada derajat yang mulia dengan hak dan kewajiban yang jelas dalam kehidupan sosial dan spritual.
Mereka diciptakan sebagai mitra yang setara dengan laki-laki serta mengemban amanah yang sama pentingnya dalam membangun dan memajukan peradaban umat manusia meskipun dengan peran yang berbeda sesuai dengan fitrah penciptaannya.
Hal ini terlihat jelas sejak periode kenabian dimana para muslimah tidak hanya bertanggungjawab sebagai istri dan ibu dalam membangun generasi unggul namun juga mereka aktif berkontribusi dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan untuk mewujudkan kehidupan sejahtera.
BACA JUGA:Siap Gebrak Proliga 2025