Sabtu, 16 Nov 2024
Network
Beranda
Headline
Berita Utama
Wacana
Aneka Berita
Metropolis
Kabupaten
Kabupaten Cirebon
Kabupaten Kuningan
Kabupaten Indramayu
Kabupaten Majalengka
All Sport
Nasional
Internasional
Jawa Barat
Network
Beranda
Wacana
Detail Artikel
Topeng Kekeluargaan
Reporter:
Bambang
|
Editor:
Bambang
|
Kamis , 13 Jun 2024 - 16:46
ilustrasi--
topeng kekeluargaan oleh: subandi mhum nepotisme, sebuah praktik yang telah lama melingkupi struktur kekuasaan di berbagai institusi, mencuatkan isu-isu etika dan keadilan yang mendalam. sering kali, praktik ini merujuk pada pengangkatan atau pemberian keuntungan kepada individu berdasarkan hubungan personal, seperti keluarga atau teman dekat, alih-alih berdasarkan kualifikasi atau kinerja. namun, apakah ada faktor psikologis yang mendalam yang menjelaskan mengapa praktik ini bertahan, bahkan di tengah tuntutan untuk transparansi dan keadilan? baca juga:mental menuju dewasa nepotisme merupakan praktik di mana seseorang memberikan kesempatan atau keuntungan kepada anggota keluarga atau teman dekat berdasarkan hubungan pribadi daripada kualifikasi atau kompetensi, adalah fenomena yang meresap di berbagai sector kehidupan di indonesia. untuk memahami mengapa dan bagaimana nepotisme bertahan dalam masyarakat, perspektif kesadaran palsu yang dikemukakan oleh karl marx memberikan wawasan yang mendalam. kesadaran palsu adalah kondisi di mana individu atau kelompok dalam masyarakat menginternalisasi nilai-nilai, kepercayaan, dan ideologi yang sebenarnya bertentangan dengan kepentingan mereka sendiri. melalui lensa ini, kita dapat melihat bagaimana ideologi yang mendukung nepotisme diproduksi, dipertahankan, dan dimanfaatkan oleh kelas penguasa untuk menjaga status quo dan mengekalkan ketidakadilan sosial. baca juga:perlunya pemahaman penanganan bencana dalam budaya indonesia, nilai-nilai kekeluargaan memiliki tempat yang sangat penting. solidaritas keluarga dianggap sebagai salah satu nilai tertinggi, dan memberikan dukungan serta bantuan kepada anggota keluarga adalah kewajiban moral yang tak tergoyahkan. ideologi ini diperkuat melalui berbagai institusi sosial seperti keluarga, sekolah, dan media massa, yang secara konsisten menekankan pentingnya hubungan kekeluargaan. dalam masyarakat yang sangat menghargai ikatan keluarga, praktik nepotisme sering kali dilihat sebagai perpanjangan alami dari nilai-nilai ini. baca juga:5 calon jamaah haji kota cirebon bakal jalani wukuf dari ambulans teori kesadaran palsu, sebuah konsep yang digagas oleh psikolog sosial saul mcleod, menyajikan kerangka kerja yang menarik untuk memahami fenomena seperti nepotisme. teori ini menyatakan bahwa manusia sering kali tidak menyadari atau menyangkal motivasi sebenarnya di balik tindakan mereka, terutama ketika itu berkaitan dengan penegakan norma sosial yang diterima. dalam konteks nepotisme, teori ini menyoroti bagaimana individu yang terlibat mungkin memiliki "kesadaran palsu" tentang alasan di balik keputusan mereka. mereka mungkin meyakini bahwa mereka memilih kandidat berdasarkan kualifikasi yang obyektif, sementara sebenarnya mereka dipengaruhi oleh hubungan personal atau persahabatan. baca juga:dkm harus tingkatkan kepercayaan masyarakat hal ini terjadi karena manusia cenderung merasionalisasi tindakan mereka untuk mempertahankan gambaran positif tentang diri mereka sendiri. dengan demikian, penggunaan kekuasaan untuk mempromosikan atau mendukung individu terkait dalam konteks nepotisme dapat diselubungi oleh alasan-alasan yang "palsu" di dalam kesadaran kita. kita mungkin menganggap keputusan tersebut sebagai bentuk penghargaan terhadap kualifikasi atau kinerja, sementara sebenarnya itu mungkin lebih tentang koneksi personal. teori kesadaran palsu juga menyoroti bagaimana norma-norma sosial yang diterima dapat memengaruhi persepsi dan tindakan individu. baca juga:17 tahun paud gunakan rumah kepsek dalam lingkungan di mana nepotisme dianggap biasa atau bahkan dianggap sebagai "cara kerja", individu cenderung menerima dan mempraktikkan perilaku tersebut tanpa mempertanyakan implikasi etisnya. namun, memahami nepotisme dalam kerangka teori kesadaran palsu juga membuka pintu untuk refleksi diri dan perubahan. dengan mengakui bahwa alasan di balik tindakan kita mungkin tidak selalu sesuai dengan persepsi kita sendiri, kita dapat lebih berhati-hati dalam pengambilan keputusan dan lebih terbuka terhadap kritik konstruktif. kesadaran akan bagaimana norma-norma sosial memengaruhi tindakan kita dapat mendorong kita untuk menantang praktik-praktik yang tidak adil atau tidak etis. baca juga:pansus v dprd jawa barat: pemerintah harus fasilitasi kebutuhan petani organik dengan mengubah budaya organisasi atau masyarakat secara keseluruhan untuk memprioritaskan kualifikasi dan kinerja daripada hubungan personal, kita dapat membentuk lingkungan yang lebih inklusif dan berkeadilan. memahami nepotisme dalam perspektif teori kesadaran palsu mengundang kita untuk lebih kritis terhadap motivasi dan tindakan kita sendiri, serta untuk menantang norma-norma sosial yang mungkin memperkuat praktik-praktik tidak adil. dengan demikian, kita dapat memperjuangkan sistem yang lebih transparan, berkeadilan, dan didasarkan pada nilai-nilai meritokrasi yang sejati. namun, dari perspektif kesadaran palsu, nilai-nilai kekeluargaan ini dapat dimanipulasi oleh kelas penguasa untuk mempertahankan status quo dan kekuasaan mereka. baca juga:satpol pp seminggu sekali tertibkan aps balon walikota praktik nepotisme sering kali dilihat sebagai bentuk perwujudan dari nilai-nilai kekeluargaan, meskipun pada kenyataannya, ia sering kali digunakan untuk memperkuat kekuasaan dan posisi sosial kelompok elit. masyarakat mungkin menerima dan bahkan mendukung praktik nepotisme karena mereka percaya bahwa itu adalah cara yang sah untuk mendukung keluarga, padahal sebenarnya praktik tersebut memperkuat ketidakadilan dan ketimpangan sosial. di indonesia, banyak orang menginternalisasi ideologi yang mendukung nepotisme sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. kelas pekerja, misalnya, mungkin merasa bahwa mereka harus menerima praktik nepotisme sebagai bagian dari budaya dan norma sosial. mereka mungkin melihatnya sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari dan bahkan sebagai sesuatu yang positif karena dapat memberikan keamanan dan stabilitas ekonomi bagi keluarga mereka. namun, pada kenyataannya, praktik nepotisme ini sering kali merugikan mereka. baca juga:serapan anggaran baru 25% ketika posisi-posisi penting diisi oleh individu-individu yang kurang kompeten hanya karena hubungan keluarga, ini menghambat mobilitas sosial dan merusak efisiensi serta produktivitas. (*) penulis adalah dosen unu
1
2
3
»
Tag
Share
Koran Terkait
Kembali ke koran edisi Radar Cirebon 14 Juni 2024
Berita Terkini
Kualifikasi Piala Dunia 2026: Samurai Biru Melukai Garuda
Headline
5 jam
Lagi, Rob Terjang Pesisir Eretan Indramayu
Headline
5 jam
Bos Lion Air Pimpin Garuda Indonesia
Headline
5 jam
Fokus Percepatan Pengisian Jabatan ASN
Aneka Berita
5 jam
Indonesia-Peru Perkuat Kerja Sama
Aneka Berita
5 jam
Berita Terpopuler
Hadapi Jepang, STY Terpaksa Coret 4 Pemain, Berikut Prediksi Susunan Pemain Indonesia
Berita Utama
17 jam
SMP Al-Irsyad Al-Islamiyyah Gelar Pemilihan Ketua OSIS
Metropolis
8 jam
Gercep Disbudpar Kabupaten Cirebon Bahas Soal Peminta Sedekah di Kompleks Makam Sunan Gunung Jati
Headline
13 jam
Pasangan Eti Herawati-Suhendrik Menjadi Harapan Baru Generasi Z
Metropolis
8 jam
Pabrik Briket Terbakar, 5 Unit Mobil Damkar Dikerahkan, Seorang Petugas Pingsan Saat Bertugas
Headline
13 jam
Berita Pilihan
Timnas Indonesia Resmi Jadi Tuan Rumah saat Kontra Bahrain, Menpora: Tidak Datang, WO
Headline
3 minggu
Timnas Indonesia Kalah Lawan China, Shin Tae Yong Beri Penjelasan Berikut
All Sport
1 bulan
Ranking FIFA Timnas Indonesia Anjlok, Hasil Arab Vs Bahrain Untungkan Indonesia
All Sport
1 bulan
Inilah Update Rangking FIFA Timnas Indonesia Terbaru Usai Tahan Imbang Bahrain
All Sport
1 bulan
Timnas Indonsia Turunkan Kekuatan Penuh, Yakin Bisa Curi Poin dari Bahrain
All Sport
1 bulan