Beranikah Batalkan Perda PBB-P2?
Ilustrasi-ist-
CIREBON - Polemik kenaikan tagihan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Kota Cirebon tahun buku 2024 menuntut keberanian dari eksekutif dan legislatif untuk membatalkan segala produk hukum dan keputusan yang mendasarinya.
Praktisi hukum Furqon Nurzaman SH menyatakan bahwa UU No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengatur tentang pengenaan Pajak Daerah secara umum, termasuk dasar/batasan kenaikan tarif.
Dengan demikian, penentuan besaran NJOP sebagai dasar pengenaan PBB dan BPHTB menjadi kewenangan Pemerintah Daerah.
Menurutnya, berdasarkan UU tersebut, pemerintah daerah bersama DPRD Kota Cirebon telah menetapkan dan mengesahkan Perda No 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang mengatur besaran perhitungan NJOP yang akan menentukan besaran pengenaan PBB dan BPHTB.
Dia menegaskan bahwa masalah utama adalah penentuan perhitungan NJOP yang didasarkan pada harga pasar objek setempat yang diakui melalui proses transaksi jual-beli, sehingga NJOP dianggap terlalu kecil untuk nilai transaksi yang dianggap besar.
“Oleh karena itu, yang harus dibatalkan terlebih dahulu adalah regulasi mengenai Zona Nilai Tanah (ZNT),” terangnya.
Dia juga mempertanyakan dasar pemikiran pemerintah daerah tentang ZNT yang didasarkan pada fakta adanya jual-beli.
Pada tataran regulasi, hal ini tidak bertentangan, mengingat UU memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menentukan hal itu, termasuk kewenangan untuk tidak memungut pajak tertentu atas kondisi tertentu.
Namun, pada titik kebijakan, hal ini tidak bijaksana mengingat harga pasar seharusnya tidak menjadi dasar bagi penentu besaran NJOP meskipun ada nilai transaksi yang tidak sebanding dengan NJOP pada objek tertentu.
Sehingga, setidaknya pemerintah daerah berada dalam posisi dilema atas tuntutan untuk membatalkan kenaikan PBB dan BPHTB, karena hal tersebut akan memengaruhi potensi target pendapatan daerah yang telah ditetapkan bersama DPRD.
Selain itu, jika keputusan pembatalan kenaikan dilakukan, akan berpotensi menjadi persoalan dengan BPK dan mempengaruhi besaran upah pungut, yaitu pendapatan sah yang diterima oleh pejabat disposisi tertentu.
“Semakin besar pendapatan pajak, semakin besar upah pungutnya,” ungkapnya.
Menurutnya, pada persoalan tersebut, yang paling krusial adalah mengenai mekanisme pembatalan tersebut.
Seringkali pemerintah daerah tidak berani, meskipun ada jalan keluar yang secara hukum dapat dibenarkan tapi enggan untuk melakukannya.