Tentang Kapten Samadikun: Perjuangannya dalam Pertempuran Laut Cirebon
Kapten Samadikun gugur dalam pertempuran di Laut Cirebon pada 5 Januari 1947. Kala itu ia menggunakan KRI Gajah Mada (kanan).-istimewa-radar cirebon
CIREBON- Masyarakat Cirebon mungkin tak asing dengan nama Kapten Samadikun. Menjadi nama jalan utama di pesisir Kota Cirebon. Namun di luar itu, agaknya tak banyak yang mengetahui akan kiprah dan perjuangaanya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Kisah heroik Kapten (Anumerta) Samadikun tak lepas dari peristiwa pertempuran laut di Cirebon pada 5 Januari 1947. Konfrontasi yang terjadi dengan tentara Belanda yang membawa kapal HR MS Kontenaer menyebabkan tenggelamnya Kapal Gajah Mada yang dikomandoinya.
Dalam catatan budyawan sekaligus sejarawan Cirebon (alm) Noerdin M Noer sebagaimana tersimpan dalam depo Arsip Dispusip Kota Cirebon, dalam pertempuran itu, Kapten Samadikun yang saat itu masih berpangkat Lettu, gugur sebagai kusuma bangsa bersama dengan 2 pejuang lainnya. Sementara 26 orang lainnya, menjadi tawanan Belanda.
Diketahui bahwa peristiwa tersebut merupakan dampak dari Perundingan Linggarjati. Di mana, sejak tanggal 1 Januari 1947, Armada Pangkalan III Cirebon Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) melakukan latihan gabungan perang laut bersama Angkatan Darat, polisi, dan sejumlah laskar di Karesidenan Cirebon.
BACA JUGA:Presiden Tinggalkan Tanah Air
Pada latihan itu ALRI mengerahkan lima kapal di bawah pimpinan Letnan Satu Samadikun. Eskader yang terlibat antara lain KRI Gajah Mada di bawah Komandan Lettu Samadikun, Kapal Patroli P-8 di bawah komandan Lettu Sukamto, Kapal Patroli P-9 di bawah Komandan Lettu Supomo, Kapal Tunda Semar di bawah Komandan Lettu Toto PS dan Kapal Tunda Antareja.
Oleh pihak Belanda, ALRI dianggap telah melanggar status quo atas Perundingan Linggarjati. Hal tersebut membuat pihak Belanda melakukan pengintaian dari jarak jauh selama latihan berlangsung. Pada 3 Januari 1947, tepat pukul 16.00 sore hari, kapal perang Belanda datang mendekati pantai Cirebon. Kedatangan kapal tersebut terlihat oleh KRI Gajah Mada yang sedang berpatroli.
Sehari setelahnya, sekitar pukul 09.00 pagi kapal Belanda tipe pemburu kembali muncul di teritorial perairan Cirebon dan kemudian melepas sauh sejauh 7 mil (11,26 km) dari pantai. Namun selama patroli berlangsung, divisi KRI Gajah Mada tidak melakukan baku tembak dengan pihak Belanda.
Pada 5 Januari, dari jarak enam mil terlihat Kapal Belanda HR MS Kortenaer didampingi Kapal Pemburu sekitar pukul 06.00 WIB. Pada jarak empat mil, Kapal Belanda mengirim isyarat untuk eskader ALRI agar berhenti. Namun demikian, isyarat itu tak diindahkan. Bahkan Lettu Samadikun memerintahkan kapal eskader untuk melakukan olah gerak dari formasi lini ke formasi Diamon.
BACA JUGA:Fokus pada Petani dan Infrastruktur Pertanian
Melihat manuver itu, kapal Belanda melakukan penembakan terhadap Kapal Patroli P-8 dan meleset. Lettu Samadikun mengambil komando dan memerintahkan unsur eskader melakukan despersi menghindar. Sementara KRI Gajah Mada mengambil posisi serang, hal itu dilakukan agar tak semua eskader mengalami kehancuran.
Tembakan kedua Kapal Belanda kemudian langsung diarahkan ke KRI Gajah Mada yang mendarat tepat ke lambung kanan, hingga rusak dan bocor. Dalam situasi yang terdesak itu, Lettu Samadikun memerintahkan pasukannya meninggalkan kapal, lalu mengambil senjata Kaliber 12,7 mm dan melakukan tembakan balasan.
Namun setelah melakukan tembakan balasan itu, Kapal Belanda semakin beringas menembakkan meriamnya ke arah KRI Gajah Mada. Hingga akhirnya peluru ke 12 meriam Belanda menenggelamkannya, bersama dengan Komandan Lettu Samadikun.
Diketahui, KRI Gadjah Mada bukanlah kapal tempur yang memang dipersiapkan untuk perang dengan persenjataan yang lengkap, tapi kapal pengangkut logistik dalam pertempuran. KRI Gajah Mada adalah kapal jenis Coaster berukuran 150 ton asal Singapura yang dimodifikasi menjadi kapal perang.